Senin, 06 Februari 2017

MUHAMMAD ABDUH



MAKALAH
MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRANNYA
Disusun Oleh :
Ahmad Maimun Yasir        (1404016047)
M. Khoirul Fikri Maulana   (1404016050)
Moh. Jaswadi                       (1404016068)

PRODI AQIDAH - FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UIN WALISONGO SEMARANG
A.    Latar Belakang
Pada akhir abad  19 negara-negara Islam mengalami krisis ideologi. Modernisasi terjadi di mana-mana, mereka berusaha menyesuaikan diri dengan  mengambil pemikiran dan ideology dari Barat, seperti pemikiran dari Eropa yang menyebabkan terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan.
Begitu juga yang terjadi di Mesir, modernitas membuat ajaran klasik menghilang. Pendidikan-pendidikan model barat merebak, karena mereka harus mengikuti pola model barat agar bisa berkembang. Namun kenyataanya mereka jadi tidak mengerti inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Keadaan politik dan soial pada masa itu sangat mendukung modernisasi. Namun dalam prosesnya mereka mengambil pemikiran Eropa tanpa memilah dan kritis terhadap pemikiran tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh menentang atas pemikiran orang-orang muslim kebanyakan yang dianggapnya keliru. Muhammad Abduh berusaha nenngembalikan masyarakat Islam ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Menurut Abduh kemunduran masyarakat Muslim disebabkan oleh pandangan bahwa Tuhan sudah menentukan terlebih dahulu tindakan manusia. Sehingga mereka kehilangan kemerdekaandan kemampuan untuk menentukan dan merancang nasib mereka sendiri.
Dari hal itulah focus tujuan pada tulisan ini adalah Muhammad Abduh seputar pemikirannya beliau. Mengenai biografi serta pemikirannya yang tertuang dalam karya Risalat al-Tauhid. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi yang eksplisit dan bisa menambah wawasan keilmuan kita.

B.     Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir di provinsi Ghorbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Choirullah, seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khatab. Kedua orangtua Abduh hidup dalam masa rezim Muhammad Ali Pasha, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya.[1]
Pada umur 7 tahun, Abduh menerima pengajaran pertama di desanya berupa membaca, menulis dan belajar ilmu Tajwid pada umur 13 tahun. Proses beliau menjadi seseorang pemikir besar dimulai semenjak pertemuannya dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani pada tahun 1871, Abduh belajar bidang filsafat, logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Abduh menghasilkan karya pertamanya didikte oleh al-Afghani yang disebut dengan Risalat al-Waridat pada tahun 1872 yang kemudian diterbitkan setelah wafatnya. Sedangkan karya orisinilnya saat itu adalah tulisan-tulisannya yang termuat dalam al-Ahram pada tahun 1876 dan semuanya masih bergaya sajak. Sampai pada tahun 1878, Abduh ditunjuk menjadi pengajar di madrasah Dar al-Ulm beliau mengajar Muqaddimah Ibnu Khaldun.[2]
Ketika ia mulai dikenal dikalangan luas, pemerintah memanfaatkan kepandaiannya dengan mengangkat sebagai dosen tetap ilmu kalam, sejarah, ilmu politik, dan kesusteraan Arab  di universitas Dar al-Ulum dan Perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879 dengan metode diskusi untuk memepercepat transformasi intelektual. Ia menginginkan terciptannya generasi masysrakat Mesir yang mamapu mempertahankan Bahasa Arab sebagai bahasa agaman dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang dilengkapi apresiasi kuat terhadap khazanah pengetahuan modern. Selain itu ia berharap para mahasiswa tanggap dengan situasi social politik yang sedang berkembang dan mengoreksi penyimpangan masyarakat maupun pemerintah. Karena pemikiran Abduh berbau politis, Taufiq Pasya memeberhentikan Abduh di dua perguruan tinggi tersebut di desa tempat kelahirannya. Pada tahun 1880 perdana menteri Riyadh Pasya mengangkat Abduh sebagai redaktur surat kabar pemerintah al-waqai al-mishriyyah yang kemudian dipercaya mendaji kepala editor. Kesempatan tersebut dimanfaatkannnya untuk memformulasikan sekaligus mensosialisasikan gagasan-gagasannya.
Abduh juga aktif dalam bidang politik yang terlibat dalam partai nasional Mesir (al-Hizb al-Wathan) yang didirikan Jamaluddin al-Afghani. Pada tahun 1882 muncullah kemudian gerakan pemberontakan dibawah pimpinan Ahmad Urabi Pasya yang menyebabkan pasukkannya mengalami kekalahan total di at-Tall al-Kabir sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Srilangka seumur hidup. Dalam kaitan ini Abduh termasuk orang yang terlibat meskipun ia tidak menyetujui model pemberontakan tersebut dan akhirnya dijatuhi hukuman pengasingan keluar negeri selama tiga tahun. Tahun 1882 Abduh menetap di kota Paris bersama Jamaluddin al-Afghani dan mendirikan majalah al-Urwa al-Wutsqa. Namun majalah tersebut tidak berjalan lama karena pemerintah colonial melarang peredarannya.
Selanjutnya Abduh pergi Syiria untuk memusatkan pengembangan ilmu dan pembinaan pendidikan tafsir Quran di beberapa masjid dan di madrasah Sulthaniyah bidang logika, ilmu Tauhid, dan sejarah. Ia juga menulis artikel pada surat kabar, kitab syarah yang menghasilkan Risalah al-Tauhid. Tahun 1888 Abduh kembali ke Mesir dan diangkat menjadi hakim dan dipercaya menjadi penasehat hukum Mahkamah Agung di Cairo. Kepercayaan pemerintahan semakin meningkat dan mencapai puncaknya ketika Abduh diangkat menjadi Mufti besar. Sejak tanggal 1 Juni 1899 menggantikan Syeh Hasunah an-Nadawi. Akhirnya setelah sakit beberapa lama Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 di Cairo.[3]

C.     Pemikiran Muhammad Abduh (Risalah Tauhid)
Pokok pemikiran dari Muhammad Abduh tertuang dalam karyanya Risalah Tauhid. Bahasan mengenai Al-Risalah maupun Nazariyat al Nubuwwah (teori kenabian)  ini pertama dilakukan oleh al-Farabi (870 M- 950 M) yang fokusnya pada waktu itu untuk memadukan antara filsafat dan agama. Teori kenabian al-Farabi ini berpengaruh pada pemikir sesudahnya, termasuk juga Muhammad Abduh yang berusaha menghidupkan studi filsafat-filsafat klasik.[4]
Mengenai bahasan al-Risalah oleh Abduh, dipahami dari segi sosiologi yang diringkaskan oleh Rihab Akawiy yaitu:

“Menurut kelaziman cinta dan keadilan, maka adalah seharusnya ada norma-norma yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Hanya saja, norma-norma itu sering diabaikan sama sekali. Akibatnya, pasti akan merajalela berbagai egoisme dan kedzaliman ditengah masyarakat dan pada gilirannya menyebabkan persengketaan dan perpecahan diantara anak-anak negeri dan masyarakat. Untuk itulah Risalah para Rasul adalah suatu keniscayaan untuk mengajak anggota masyarakat itu mematuhi norma-norma tersebut serta menghilangkan segala kejahatan darinya. Sesungguhnya esensi diutusnya para Rasul itu adalah bertujuan sangat Ruhani, antara lain mendidik umat, yaitu menyempurnakan keberadaan serta martabat manusia, kedudukan para Rasul ditengah manusia itu seperti kedudukan akal pada individu”.[5]

Al Risalah adalah pengutusan Rasul-Rasul untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah dan hukum Allah kepada manusia. Cakupannya dalam Risalat al Tauhid yaitu meliputi Hajat al-Basyar ila al-Risalah Imkan al-Wahy (kemungkinan terjadinya wahyu), Wuqu’ al-Wahy wa al-Risalah (terjadinya wahyu dan al-Risalah), Wadhifat al-Rusul (tugas para rasul), Risalat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (kerasulan Muhammad SAW), al Tasdiq bima ja’a bihi Muhammad (pembenaran terhadap kerasulan Muhammad) juga termasuk diskursus Al-Qur’an, agama Islam dan perkembangannya, sanggahan terhadap tuduhan Barat tentang kerasulan Muhammad.[6]
Pembahasan Al-Risalah, dipandang dari segi normatif, yaitu iman kepada Rasul adalah salah satu rukun iman. Dalam hal ini, setiap muslim harus percaya bahwa Allah mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dalam rangka menyampaikan syariat Allah kepada manusia. Sedangkan dari segi sosiologis-antropologis, kebutuhan manusia kepada Al-Risalah yaitu kekekalan jiwa manusia dan tabiat manusia sebagai makhluk sosial.
Secara garis besar, menurut Prof. Dr. H. Yusuf Suyono, MA. didalam bukunya Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal. Risalah Al Tauhid didalamnya terdapat cakupan tentang diskursus ketuhanan (Teologi), diskursus kemanusiaan (antropologi) dan diskurusus kealaman (kosmologi).
a)      Diskursus ketuhanan yaitu meliputi bahasan mengenai bukti eksistensi Tuhan, sifat-sifatnya dan perbuatannya:
Bukti eksistensi Tuhan, Abduh mengawali dengan pembagian Al-Ma’lum (sesuatu yang bisa diketahui akal) menjadi tiga: Mumkin Li Dzatih, Wajib Li Dzatih, Mustahil Li Dzatih. Yang dimaksud dengan al-Wajib adalah sesuatu yang eksistensinya dari segi Dzat-Nya harus dan pasti ada. Al-Mustahil adalah sesuatu yang eksistensinya dari segi Dzat-Nya harus dan pasti tidak ada. Al-Mumkin adalah sesuatu yang eksistensinya maupun non eksistensinya bukan dari Dzatnya sendiri tetapi bergantung pada sesuatu yang menyebabkan eksistensi dan non-eksistensinya itu.[7] Al-Wajib (Allah SWT) adalah sesuatu yang eksistensinya dari segi dzatnya harus dan pasti ada. Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh mebagi sifat-sifat-Nya menjadi dua, yaitu sifat-sifat Burhaniyyah (sifat-sifat yang bisa dicapai pemahamannya lewat penggunaan akal tanpa harus menunggu penjelasannya lewat wahyu) dan sifat-sifat Sam’iyah (sifat-sifat yang hanya bisa diketahui oleh akal karena diberitahu oleh wahyu). Yang termasuk sifat Burhaniyyah yaitu ada 9, meliputi sifat keniscayaan rasional (Qidam, Baqa, Nafy al Tarkib, sedang yang meliputi sifat-sifat kesempurnaan bagi sifat keniscayaan rasional tersebut yaitu al hayah, al ilm, al iradah, al qudrat, al ikhtiyar, al wahdah. Kemudian yang termasuk sifat sam’iyah adalah al kalam, al bashar, dan al sama’.
Dengan berpegang pada hadis, “Tafakkaru fi Khalqillah wa la Tafakkaru fi Dzatih”, Abduh berbeda dengan aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah, menyatakan bahwa yang terpenting Allah mempunyai sifat-sifat tersebut tanpa harus membuang-buang waktu dan energi mencari hakekat hubungan zat Allah dan sifat-sifat itu. Menurutnya, mencari hakekat (thalab al ikhtinah) adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai akal, disatu sisi, dan sia-sia serta berbahaya disisi lain.
Perbuatan Allah, dalam hal ini, Abduh menengahi pendapat mu’tazilah dan asy’ariyah yaitu dengan menyatakan bahwa semua perbuatan Allah adalah jauh dari kesia-siaan dalam arti pasti ada hikmah dibalik perbuatan-Nya. Menurutnya, hikmah (kebijakan) setiap perbuatan adalah yang bisa memelihara ketertiban dan menolak kerusakan yang bila dipahami bagi akal manusia, dia pasti akan mengatakan bahwa perbuatan itu tidak sia-sia dan tidak main-main.  Abduh berpendapat bahwa berfirqah-firqahnya mu’tazilah dan asy’ariyah hanyalah karena alasan semantik antara proposisi al-Wajib ‘Alallah dan al-Wajib Lillah yang seharusnya tidak menjadikan mereka bercerai berai.[8]
b)      Diskursus Kemanusiaan.
Diskursus kemanusian dalam Risalah Al Tauhid yaitu berkaitan dengan diskursus perbuatan manusia yang mencakup kebebasan manusia dalam berbuat serta baik buruknya perbuatan. Menurut Abduh, manusia adalah makhluk yang bebas merdeka tetapi terbatas. Bebas merdeka, karena dengan daya, akal dan kemampuannya, manusia bisa melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Sedangkan keterbatasannya terletak pada ketidakmampuannya mengatasi kekuatan yang berasal dari luar dirinya[9]. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11:
”Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan,  yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
c)      Diskursus Kealaman.
Alam menurut Abduh, diciptakan tidak dalam kesia-siaan. Allah yang memiliki sifat Azali. Sebelum permulaan itu tidak bisa dipastikan batasannya. Saat itu berarti tidak ada apa-apa kecuali sang pencipta. Kemudian dia berkehendak mengadakan alam ini dari ketiadaan murni. Hal ini berkaitan dengan skenario turunnya adam dari surga ke bumi untuk menjadi sebab terbangunnya bumi ini oleh anak cucunya, sehingga ada dua kunci dalam kisah adam, yaitu larangan mendekat dari pohon khuldi dan perintah memakan yang baik-baik, yang merupakan fenomena yang mesti dialami makhluk manusia dialam ini.[10]

D.    Kesimpulan
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir di provinsi Ghorbiyyah. Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 di Cairo. Pokok pemikiran dari Muhammad Abduh tertuang dalam karyanya Risalah Tauhid. Bahasan mengenai Al-Risalah maupun Nazariyat al Nubuwwah (teori kenabian)  ini pertama dilakukan oleh al-Farabi (870 M- 950 M) yang fokusnya pada waktu itu untuk memadukan antara filsafat dan agama. Teori kenabian al-Farabi ini berpengaruh pada pemikir sesudahnya, termasuk juga Muhammad Abduh yang berusaha menghidupkan studi filsafat-filsafat klasik.
Secara garis besar, menurut Prof. Dr. H. Yusuf Suyono, MA. didalam bukunya Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal. Risalah Al Tauhid didalamnya terdapat cakupan tentang diskursus ketuhanan (Teologi), diskursus kemanusiaan (antropologi) dan diskurusus kealaman (kosmologi).



Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad. Risalat al-Tauhid  (Ttp.: Tp 1969) Terj. Firdaus dari Risalat al-Tauhid . cet ketujuh, Al-Manar, Mesir 1353 H
Amir Aziz, Ahmad. Pembaruan teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman.  (Yogyakarta: Sukses Offset)
Suyono, Yusuf. Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group) 2008

Pertanyaan
1.      Jelaskan sifat-sifat Tuhan menurut Muhammad Abduh, dan kegunaan pembagian sifat-sifat ini ?
Jawab : sifat-sifat Tuhan dibagi menjadi dua yaitu: (1). Sifat Burhaniyyah : (Qidam, Baqa, Nafy al Tarkib, al hayah, al ilm, al iradah, al qudrat, al ikhtiyar, al wahdah). (2). Sifat Sam’iyyah : kalam, bashar, dan Sama’ .  Kegunaan: untuk mencari jalan tengah antara pertikaian Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
2.      Jelaskan pembahasan al-Risalah jika ditinjau dari segi normative dan sosiologis antropologis?
Jawab : Pembahasan Al-Risalah, dipandang dari segi normatif, yaitu iman kepada Rasul adalah salah satu rukun iman. Dalam hal ini, setiap muslim harus percaya bahwa Allah mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dalam rangka menyampaikan syariat Allah kepada manusia. Sedangkan dari segi sosiologis-antropologis, kebutuhan manusia kepada Al-Risalah yaitu kekekalan jiwa manusia dan tabiat manusia sebagai makhluk sosial.
3.      Apa saja cakupan pembahasan mengenai diskursus ketuhanan dan bukti eksistensi Tuhan ?
Jawab : Diskursus ketuhanan yaitu meliputi bahasan mengenai bukti eksistensi Tuhan, sifat-sifatnya dan perbuatannya.
4.      Jelaskan pembahasan diskursus kemanusiaan.
Jawab : Diskursus kemanusian dalam Risalah Al Tauhid yaitu berkaitan dengan diskursus perbuatan manusia yang mencakup kebebasan manusia dalam berbuat serta baik buruknya perbuatan. Menurut Abduh, manusia adalah makhluk yang bebas merdeka tetapi terbatas. Bebas merdeka, karena dengan daya, akal dan kemampuannya, manusia bisa melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Sedangkan keterbatasannya terletak pada ketidakmampuannya mengatasi kekuatan yang berasal dari luar dirinya.
5.      Jelaskan pembahasan diskursus kealaman.
Jawab : Alam menurut Abduh, diciptakan tidak dalam kesia-siaan. Allah yang memiliki sifat Azali. Sebelum permulaan itu tidak bisa dipastikan batasannya. Saat itu berarti tidak ada apa-apa kecuali sang pencipta. Kemudian dia berkehendak mengadakan alam ini dari ketiadaan murni. Hal ini berkaitan dengan skenario turunnya adam dari surga ke bumi untuk menjadi sebab terbangunnya bumi ini oleh anak cucunya, sehingga ada dua kunci dalam kisah adam, yaitu larangan mendekat dari pohon khuldi dan perintah memakan yang baik-baik, yang merupakan fenomena yang mesti dialami makhluk manusia dialam ini




[1] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Sukses Offset), hal.9
[2] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh vis a vis Muhammad Iqbal (Semarang: RaSAIL Media Grup) hal.27-28
[3] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman. Hal.13-16
[4] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 51
[5] Rihab Akawiy, Al-Imam al-Syeikh Muhammad Abduh fi Akhbarihi wa Asarihi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) hlm. 149, Sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono dalam Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm 50
[6] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 47
[7] Muhammad Abduh, Risalat al-Tauhid , (Ttp.: Tp 1969) hal 23-24 Sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono dalam Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm. 44
[8] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 46-47
[9] Ibid, Hal. 59
[10] Hal ini berkaitan dengan fase-fase kehidupan manusia, pertama, fase anak-anak yaitu masa senang, masa permainan, tidak ada duka. Perintah Allah kepada adam dan hawa untuk memakan sesuka hati menggambarkan tentang bolehnya memakan yang baik, hal ini membekali manusia instink untuk mengetahui yang baik. Sedangkan larangan Allah untuk mendekati pohon khuldi menggambarkan dibekalinya manusia, instink untuk mengetahui yang buruk. Fase kedua adalah masa tamyiz, dalam masa ini terjadi tarik menarik antara kedua instink tersebut. Dan fase ketiga adalah masa dewasa. Kehidupan manusia seolah dimulai dari kesederhaan dan keluguan dalam memenuhi kebuTuhannya, selanjutnya tahap kedua dimana daya tarik syahwat menariknya untuk memiliki hal-hal yang bukan miliknya, sehingga timbullah pertentangan. Kemudian fase ketiga yaitu masa menggunakan akal dan perenungan sehingga menuju pada masa taubah dan hidayah. Lihat Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm 65