MAKALAH
MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRANNYA
Disusun Oleh :
Ahmad Maimun
Yasir (1404016047)
M. Khoirul
Fikri Maulana (1404016050)
Moh. Jaswadi (1404016068)
PRODI AQIDAH -
FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN & HUMANIORA
UIN WALISONGO
SEMARANG
A.
Latar Belakang
Pada akhir
abad 19 negara-negara Islam mengalami
krisis ideologi. Modernisasi terjadi di mana-mana, mereka berusaha menyesuaikan
diri dengan mengambil pemikiran dan
ideology dari Barat, seperti pemikiran dari Eropa yang menyebabkan terjadinya
perubahan di segala aspek kehidupan.
Begitu juga
yang terjadi di Mesir, modernitas membuat ajaran klasik menghilang.
Pendidikan-pendidikan model barat merebak, karena mereka harus mengikuti pola
model barat agar bisa berkembang. Namun kenyataanya mereka jadi tidak mengerti
inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Keadaan
politik dan soial pada masa itu sangat mendukung modernisasi. Namun dalam
prosesnya mereka mengambil pemikiran Eropa tanpa memilah dan kritis terhadap
pemikiran tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh
menentang atas pemikiran orang-orang muslim kebanyakan yang dianggapnya keliru.
Muhammad Abduh berusaha nenngembalikan masyarakat Islam ke ajaran Islam yang
sesungguhnya. Menurut Abduh kemunduran masyarakat Muslim disebabkan oleh
pandangan bahwa Tuhan sudah menentukan terlebih dahulu tindakan manusia.
Sehingga mereka kehilangan kemerdekaandan kemampuan untuk menentukan dan
merancang nasib mereka sendiri.
Dari hal
itulah focus tujuan pada tulisan ini adalah Muhammad Abduh seputar pemikirannya
beliau. Mengenai biografi serta pemikirannya yang tertuang dalam karya Risalat
al-Tauhid. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi yang eksplisit dan
bisa menambah wawasan keilmuan kita.
B.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah
Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir di provinsi Ghorbiyyah. Ayahnya
bernama Abduh bin Hasan Choirullah, seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya
Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar
bin Khatab. Kedua orangtua Abduh hidup dalam masa rezim Muhammad Ali Pasha,
yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya.[1]
Pada umur 7 tahun, Abduh menerima pengajaran pertama di desanya
berupa membaca, menulis dan belajar ilmu Tajwid pada umur 13 tahun. Proses
beliau menjadi seseorang pemikir besar dimulai semenjak pertemuannya dengan
Sayyid Jamaluddin al-Afghani pada tahun 1871, Abduh belajar bidang filsafat,
logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Abduh menghasilkan karya
pertamanya didikte oleh al-Afghani yang disebut dengan Risalat al-Waridat pada
tahun 1872 yang kemudian diterbitkan setelah wafatnya. Sedangkan karya
orisinilnya saat itu adalah tulisan-tulisannya yang termuat dalam al-Ahram pada
tahun 1876 dan semuanya masih bergaya sajak. Sampai pada tahun 1878, Abduh
ditunjuk menjadi pengajar di madrasah Dar al-Ulm beliau mengajar Muqaddimah
Ibnu Khaldun.[2]
Ketika ia mulai dikenal dikalangan luas, pemerintah memanfaatkan
kepandaiannya dengan mengangkat sebagai dosen tetap ilmu kalam, sejarah, ilmu
politik, dan kesusteraan Arab di
universitas Dar al-Ulum dan Perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879 dengan
metode diskusi untuk memepercepat transformasi intelektual. Ia menginginkan
terciptannya generasi masysrakat Mesir yang mamapu mempertahankan Bahasa Arab
sebagai bahasa agaman dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang dilengkapi apresiasi
kuat terhadap khazanah pengetahuan modern. Selain itu ia berharap para
mahasiswa tanggap dengan situasi social politik yang sedang berkembang dan
mengoreksi penyimpangan masyarakat maupun pemerintah. Karena pemikiran Abduh
berbau politis, Taufiq Pasya memeberhentikan Abduh di dua perguruan tinggi
tersebut di desa tempat kelahirannya. Pada tahun 1880 perdana menteri Riyadh
Pasya mengangkat Abduh sebagai redaktur surat kabar pemerintah al-waqai
al-mishriyyah yang kemudian dipercaya mendaji kepala editor. Kesempatan
tersebut dimanfaatkannnya untuk memformulasikan sekaligus mensosialisasikan
gagasan-gagasannya.
Abduh juga aktif dalam bidang politik yang terlibat dalam partai
nasional Mesir (al-Hizb al-Wathan) yang didirikan Jamaluddin al-Afghani. Pada
tahun 1882 muncullah kemudian gerakan pemberontakan dibawah pimpinan Ahmad
Urabi Pasya yang menyebabkan pasukkannya mengalami kekalahan total di at-Tall
al-Kabir sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Srilangka seumur hidup. Dalam
kaitan ini Abduh termasuk orang yang terlibat meskipun ia tidak menyetujui
model pemberontakan tersebut dan akhirnya dijatuhi hukuman pengasingan keluar
negeri selama tiga tahun. Tahun 1882 Abduh menetap di kota Paris bersama
Jamaluddin al-Afghani dan mendirikan majalah al-Urwa al-Wutsqa. Namun majalah
tersebut tidak berjalan lama karena pemerintah colonial melarang peredarannya.
Selanjutnya
Abduh pergi Syiria untuk memusatkan pengembangan ilmu dan pembinaan pendidikan
tafsir Quran di beberapa masjid dan di madrasah Sulthaniyah bidang logika, ilmu
Tauhid, dan sejarah. Ia juga menulis artikel pada surat kabar, kitab syarah
yang menghasilkan Risalah al-Tauhid. Tahun 1888 Abduh kembali ke Mesir dan
diangkat menjadi hakim dan dipercaya menjadi penasehat hukum Mahkamah Agung di
Cairo. Kepercayaan pemerintahan semakin meningkat dan mencapai puncaknya ketika
Abduh diangkat menjadi Mufti besar. Sejak tanggal 1 Juni 1899 menggantikan Syeh
Hasunah an-Nadawi. Akhirnya setelah sakit beberapa lama Abduh meninggal pada
tanggal 11 Juli 1905 di Cairo.[3]
C.
Pemikiran Muhammad Abduh (Risalah
Tauhid)
Pokok pemikiran dari Muhammad Abduh tertuang dalam karyanya Risalah
Tauhid. Bahasan mengenai Al-Risalah maupun Nazariyat al Nubuwwah (teori
kenabian) ini pertama dilakukan oleh
al-Farabi (870 M- 950 M) yang fokusnya pada waktu itu untuk memadukan antara
filsafat dan agama. Teori kenabian al-Farabi ini berpengaruh pada pemikir
sesudahnya, termasuk juga Muhammad Abduh yang berusaha menghidupkan studi
filsafat-filsafat klasik.[4]
Mengenai bahasan al-Risalah oleh
Abduh, dipahami dari segi sosiologi yang diringkaskan oleh Rihab Akawiy yaitu:
“Menurut kelaziman cinta dan keadilan, maka
adalah seharusnya ada norma-norma yang mengatur hubungan antar individu dalam
masyarakat. Hanya saja, norma-norma itu sering diabaikan sama sekali.
Akibatnya, pasti akan merajalela berbagai egoisme dan kedzaliman ditengah
masyarakat dan pada gilirannya menyebabkan persengketaan dan perpecahan
diantara anak-anak negeri dan masyarakat. Untuk itulah Risalah para Rasul
adalah suatu keniscayaan untuk mengajak anggota masyarakat itu mematuhi norma-norma
tersebut serta menghilangkan segala kejahatan darinya. Sesungguhnya esensi
diutusnya para Rasul itu adalah bertujuan sangat Ruhani, antara lain mendidik
umat, yaitu menyempurnakan keberadaan serta martabat manusia, kedudukan para
Rasul ditengah manusia itu seperti kedudukan akal pada individu”.[5]
Al Risalah adalah
pengutusan Rasul-Rasul untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah dan hukum Allah kepada manusia. Cakupannya dalam Risalat al Tauhid yaitu
meliputi Hajat al-Basyar ila al-Risalah Imkan al-Wahy (kemungkinan terjadinya
wahyu), Wuqu’ al-Wahy wa al-Risalah (terjadinya wahyu dan al-Risalah),
Wadhifat al-Rusul (tugas para rasul), Risalat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (kerasulan Muhammad SAW), al Tasdiq bima ja’a bihi
Muhammad (pembenaran terhadap kerasulan Muhammad) juga termasuk diskursus
Al-Qur’an, agama Islam dan perkembangannya, sanggahan terhadap tuduhan Barat
tentang kerasulan Muhammad.[6]
Pembahasan Al-Risalah,
dipandang dari segi normatif, yaitu iman kepada Rasul adalah salah satu rukun
iman. Dalam hal ini, setiap muslim harus percaya bahwa Allah mengutus para
Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dalam rangka
menyampaikan syariat Allah kepada manusia. Sedangkan dari segi
sosiologis-antropologis, kebutuhan manusia kepada Al-Risalah yaitu
kekekalan jiwa manusia dan tabiat manusia sebagai makhluk sosial.
Secara garis besar, menurut Prof.
Dr. H. Yusuf Suyono, MA. didalam bukunya Reformasi Teologi: Muhammad Abduh
Vis a Vis Muhammad Iqbal. Risalah Al Tauhid didalamnya terdapat
cakupan tentang diskursus ketuhanan (Teologi), diskursus kemanusiaan
(antropologi) dan diskurusus kealaman (kosmologi).
a)
Diskursus ketuhanan yaitu meliputi
bahasan mengenai bukti eksistensi Tuhan, sifat-sifatnya dan perbuatannya:
Bukti eksistensi Tuhan, Abduh mengawali dengan pembagian Al-Ma’lum
(sesuatu yang bisa diketahui akal) menjadi tiga: Mumkin Li Dzatih, Wajib
Li Dzatih, Mustahil Li Dzatih. Yang dimaksud dengan al-Wajib adalah
sesuatu yang eksistensinya dari segi Dzat-Nya harus dan pasti ada. Al-Mustahil
adalah sesuatu yang eksistensinya dari segi Dzat-Nya harus dan pasti tidak
ada. Al-Mumkin adalah sesuatu yang eksistensinya maupun non
eksistensinya bukan dari Dzatnya sendiri tetapi bergantung pada sesuatu yang
menyebabkan eksistensi dan non-eksistensinya itu.[7]
Al-Wajib (Allah SWT) adalah sesuatu yang eksistensinya dari segi dzatnya
harus dan pasti ada. Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh mebagi sifat-sifat-Nya
menjadi dua, yaitu sifat-sifat Burhaniyyah (sifat-sifat yang bisa
dicapai pemahamannya lewat penggunaan akal tanpa harus menunggu penjelasannya
lewat wahyu) dan sifat-sifat Sam’iyah (sifat-sifat yang hanya bisa
diketahui oleh akal karena diberitahu oleh wahyu). Yang termasuk sifat
Burhaniyyah yaitu ada 9, meliputi sifat keniscayaan rasional (Qidam,
Baqa, Nafy al Tarkib, sedang yang meliputi sifat-sifat kesempurnaan bagi
sifat keniscayaan rasional tersebut yaitu al hayah, al ilm, al iradah, al
qudrat, al ikhtiyar, al wahdah. Kemudian yang termasuk sifat sam’iyah
adalah al kalam, al bashar, dan al sama’.
Dengan berpegang pada hadis, “Tafakkaru fi Khalqillah wa la
Tafakkaru fi Dzatih”, Abduh berbeda dengan aliran Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, menyatakan bahwa yang terpenting Allah mempunyai sifat-sifat
tersebut tanpa harus membuang-buang waktu dan energi mencari hakekat hubungan
zat Allah dan sifat-sifat itu. Menurutnya, mencari hakekat (thalab al
ikhtinah) adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai akal, disatu sisi, dan
sia-sia serta berbahaya disisi lain.
Perbuatan Allah, dalam hal ini, Abduh menengahi pendapat mu’tazilah
dan asy’ariyah yaitu dengan menyatakan bahwa semua perbuatan Allah adalah jauh
dari kesia-siaan dalam arti pasti ada hikmah dibalik perbuatan-Nya. Menurutnya,
hikmah (kebijakan) setiap perbuatan adalah yang bisa memelihara ketertiban dan
menolak kerusakan yang bila dipahami bagi akal manusia, dia pasti akan
mengatakan bahwa perbuatan itu tidak sia-sia dan tidak main-main. Abduh berpendapat bahwa berfirqah-firqahnya
mu’tazilah dan asy’ariyah hanyalah karena alasan semantik antara proposisi
al-Wajib ‘Alallah dan al-Wajib Lillah yang seharusnya tidak
menjadikan mereka bercerai berai.[8]
b)
Diskursus Kemanusiaan.
Diskursus kemanusian dalam Risalah
Al Tauhid yaitu berkaitan dengan diskursus perbuatan manusia yang mencakup
kebebasan manusia dalam berbuat serta baik buruknya perbuatan. Menurut Abduh,
manusia adalah makhluk yang bebas merdeka tetapi terbatas. Bebas merdeka,
karena dengan daya, akal dan kemampuannya, manusia bisa melakukan perbuatan
yang dikehendakinya. Sedangkan keterbatasannya terletak pada ketidakmampuannya
mengatasi kekuatan yang berasal dari luar dirinya[9].
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11:
”Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
c)
Diskursus Kealaman.
Alam menurut Abduh, diciptakan
tidak dalam kesia-siaan. Allah yang memiliki sifat Azali. Sebelum
permulaan itu tidak bisa dipastikan batasannya. Saat itu berarti tidak ada
apa-apa kecuali sang pencipta. Kemudian dia berkehendak mengadakan alam ini
dari ketiadaan murni. Hal ini berkaitan dengan skenario turunnya adam dari
surga ke bumi untuk menjadi sebab terbangunnya bumi ini oleh anak cucunya,
sehingga ada dua kunci dalam kisah adam, yaitu larangan mendekat dari pohon
khuldi dan perintah memakan yang baik-baik, yang merupakan fenomena yang mesti
dialami makhluk manusia dialam ini.[10]
D.
Kesimpulan
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah
Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir di provinsi Ghorbiyyah. Abduh
meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 di Cairo. Pokok pemikiran dari Muhammad
Abduh tertuang dalam karyanya Risalah Tauhid. Bahasan mengenai Al-Risalah maupun
Nazariyat al Nubuwwah (teori kenabian)
ini pertama dilakukan oleh al-Farabi (870 M- 950 M) yang fokusnya pada
waktu itu untuk memadukan antara filsafat dan agama. Teori kenabian al-Farabi
ini berpengaruh pada pemikir sesudahnya, termasuk juga Muhammad Abduh yang
berusaha menghidupkan studi filsafat-filsafat klasik.
Secara garis besar, menurut Prof. Dr. H. Yusuf
Suyono, MA. didalam bukunya Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis
Muhammad Iqbal. Risalah Al Tauhid didalamnya terdapat cakupan
tentang diskursus ketuhanan (Teologi), diskursus kemanusiaan (antropologi) dan
diskurusus kealaman (kosmologi).
Daftar Pustaka
Abduh,
Muhammad. Risalat al-Tauhid (Ttp.:
Tp 1969) Terj. Firdaus dari Risalat al-Tauhid . cet ketujuh, Al-Manar,
Mesir 1353 H
Amir Aziz,
Ahmad. Pembaruan teologi: Perspektif
Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Sukses Offset)
Suyono,
Yusuf. Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group) 2008
Pertanyaan
1.
Jelaskan sifat-sifat Tuhan menurut
Muhammad Abduh, dan kegunaan pembagian sifat-sifat ini ?
Jawab : sifat-sifat
Tuhan dibagi menjadi dua yaitu: (1). Sifat Burhaniyyah : (Qidam, Baqa, Nafy
al Tarkib, al hayah, al ilm, al iradah, al qudrat, al ikhtiyar, al
wahdah). (2). Sifat Sam’iyyah : kalam, bashar, dan Sama’ . Kegunaan: untuk mencari jalan tengah
antara pertikaian Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
2.
Jelaskan pembahasan al-Risalah jika
ditinjau dari segi normative dan sosiologis antropologis?
Jawab :
Pembahasan Al-Risalah, dipandang dari segi normatif, yaitu iman kepada
Rasul adalah salah satu rukun iman. Dalam hal ini, setiap muslim harus percaya
bahwa Allah mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan dalam rangka menyampaikan syariat Allah kepada manusia.
Sedangkan dari segi sosiologis-antropologis, kebutuhan manusia kepada
Al-Risalah yaitu kekekalan jiwa manusia dan tabiat manusia sebagai makhluk
sosial.
3.
Apa saja cakupan pembahasan
mengenai diskursus ketuhanan dan bukti eksistensi Tuhan ?
Jawab :
Diskursus ketuhanan yaitu meliputi bahasan mengenai bukti eksistensi Tuhan,
sifat-sifatnya dan perbuatannya.
4.
Jelaskan pembahasan diskursus
kemanusiaan.
Jawab :
Diskursus kemanusian dalam Risalah Al Tauhid yaitu berkaitan dengan
diskursus perbuatan manusia yang mencakup kebebasan manusia dalam berbuat serta
baik buruknya perbuatan. Menurut Abduh, manusia adalah makhluk yang bebas
merdeka tetapi terbatas. Bebas merdeka, karena dengan daya, akal dan
kemampuannya, manusia bisa melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Sedangkan
keterbatasannya terletak pada ketidakmampuannya mengatasi kekuatan yang berasal
dari luar dirinya.
5.
Jelaskan pembahasan diskursus kealaman.
Jawab : Alam
menurut Abduh, diciptakan tidak dalam kesia-siaan. Allah yang memiliki sifat Azali.
Sebelum permulaan itu tidak bisa dipastikan batasannya. Saat itu berarti tidak
ada apa-apa kecuali sang pencipta. Kemudian dia berkehendak mengadakan alam ini
dari ketiadaan murni. Hal ini berkaitan dengan skenario turunnya adam dari
surga ke bumi untuk menjadi sebab terbangunnya bumi ini oleh anak cucunya,
sehingga ada dua kunci dalam kisah adam, yaitu larangan mendekat dari pohon
khuldi dan perintah memakan yang baik-baik, yang merupakan fenomena yang mesti
dialami makhluk manusia dialam ini
[1]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi:
Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman,
(Yogyakarta: Sukses Offset), hal.9
[2]
Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh vis a vis Muhammad Iqbal (Semarang:
RaSAIL Media Grup) hal.27-28
[3]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi:
Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman.
Hal.13-16
[4]
Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad
Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.
51
[5]
Rihab Akawiy, Al-Imam al-Syeikh Muhammad
Abduh fi Akhbarihi wa Asarihi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) hlm. 149,
Sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono dalam Reformasi Teologi: Muhammad
Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm 50
[6]
Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad
Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.
47
[7]
Muhammad Abduh, Risalat al-Tauhid , (Ttp.: Tp 1969) hal 23-24 Sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono dalam Reformasi
Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm. 44
[8]
Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad
Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.
46-47
[9]
Ibid, Hal. 59
[10]
Hal ini berkaitan dengan fase-fase kehidupan
manusia, pertama, fase anak-anak yaitu masa senang, masa permainan, tidak ada
duka. Perintah Allah kepada adam dan hawa untuk memakan sesuka hati
menggambarkan tentang bolehnya memakan yang baik, hal ini membekali manusia
instink untuk mengetahui yang baik. Sedangkan larangan Allah untuk mendekati
pohon khuldi menggambarkan dibekalinya manusia, instink untuk mengetahui yang
buruk. Fase kedua adalah masa tamyiz, dalam masa ini terjadi tarik menarik
antara kedua instink tersebut. Dan fase ketiga adalah masa dewasa. Kehidupan
manusia seolah dimulai dari kesederhaan dan keluguan dalam memenuhi
kebuTuhannya, selanjutnya tahap kedua dimana daya tarik syahwat menariknya
untuk memiliki hal-hal yang bukan miliknya, sehingga timbullah pertentangan.
Kemudian fase ketiga yaitu masa menggunakan akal dan perenungan sehingga menuju
pada masa taubah dan hidayah. Lihat Yusuf Suyono, Reformasi Teologi:
Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group,
2008), hlm 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar