Kamis, 22 Desember 2016

Liberalisme-Ulil Abshar Abdala



MAKALAH
PEMIKIRAN TOKOH LIBERAL (ULIL ABSHAR ABDALA)
Disusun Untuk Tugas Mata Kuliah
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
Dosen Pengampu: Rokhmah Ulfah
Disusun Oleh :
              M. Khoirul Fikri Maulana   (1404016050)

PRODI AQIDAH - FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UIN WALISONGO SEMARANG
A.    Latar Belakang
Setiap produk pemikiran, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari epistimologi atau cara pandang mereka terhadap objek tertentu berdasarkan kerangka keilmuan yang menjadi pisau analisisnya. Dari cara pandang tersebut, nanti akan menghasilkan buah pikiran. Keteguhan seseorang dalam mempertahankan argumentasinya akan tercermin apabila produk pemikirannya mampu memberikan dampak perubahan cara pandang terhadap orang lain. Seperti  halnya para filosof terdahulu, bahwa diantara mereka saling memberikan kontribusi dan pengaruh pemikiran terhadap filusuf yang lain.
Sebagai sebuah contoh, berkembangnya pemikiran Islam liberal ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagamaan merupakan suatu indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berpikirnya sudah terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai sosial yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain.
Bertolak dari pemahaman tersebut, yang menjadi titik tekan sebenarnya adalah bagaimana Islam sebagai agama yang bersifat dinamis, mampu memposisikan Islam sebagai motivasi pemikiran, tindakan serta kontrol terhadap berbagai fenomena sosial yang mengganjal. Walaupun keberadaannya menurut para pemikir Islam adalah statis, dengan anggapan tersebut perlu adanya paradigma dan gerakan baru untuk membangkitkan Islam dari kungkungan .
Oleh karena Islam liberal tampil sebagai upaya memberikan motivasi untuk membangun kerangka paradigmatik yang akan mendinamiskan Islam dalam berbagai segi. Sehingga hadirnya memberikan pencerahan terhadap stagnasi pemikiran umat. Kalo kita tarik pembahasan ini ke Indonesia, satu tokoh liberal yang sangat berpengaruh adalah Ulil Absor Abdala. Gerakan nyata berupa konsepsi dalam pemikiran Islam salah satunya digagas oleh Ulil Absar Abdalla adalah Jaringan Islam Liberal. Namun, di dalam makalah ini fokus penulis adalah mencoba menelusuri peran Ulil Absar Abdalla dalam pembaharuan pemikiran tentang Jaringan Islam Liberal. Yakni Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial politik yang menindas.

B.     Biografi Ulil Abshar Abdalla
Ulil Abshar Abdalla lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967, menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati Jawa Tengah yang diasuh oleh K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Wakil Rois PBNU periode 1994-1999). Alumni fakultas syari’ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta. Sekarang bekerja sebagai peneliti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdhlatul Ulama, Jakarta. Sekaligus juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Menulis di berbagai media massa nasional terkemuka, seperti Tempo, D & R, Forum Keadilan, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Tashwirul Afkar, Kompas, Media Indonesia, Republika dan Jawa Pos.[1]
Sebagai pendiri dan kordinator Jaringan Islam liberal ,Ulil menuai banyak kritik atas kripahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam liberal, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam. Pada awalnya, Ulil dikenal sebagai intelektual muda NU. Pernah menjabat ketua lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia, Nahdlatul Ulama, Jakarta. Namanya jadi bahan pembicaraan banyak orang ketika ia mendirikan jaringan Islam liberal (JIL). Kelompok ini lantang menyuarakan pluralisme dan bertujuan menyebarkan gagasan islam liberal seluas-luasnya. Ulil menjabat sebagai Direktur Freedom Institute Jakarta, dan sekarang sedang menempuh pendidikan S-2 dan sekaligus S-3 bidang perbandingan agama di Universitas Boston, Amerikat.   

C.     Pemikiran tentang Islam Liberal
Dalam pandangannya mengenai Islam, Ulil mempunyai pandangan sendiri dalam membangun pondasi keislaman tanpa campur tangan polotik. Dengan Islam Liberal ini sekiranya bisa memposisikan kembali Islam sebagai sebuah agama yang murni tanpa ada intervensi dari politik. Menurut Ulil Islam Liberal adalah Islam dengan landasan :
1.      Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam
            Islam Liberal Percaya Bahwa Ijtihad atau penalaran rasional atas teks teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan  Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca.
2.      Mengutamakan semangat relegio etik
            Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat Religio-Etik Quran dan sunnah Nabi dengan penafsiran yang berdasarkan semangat relegio etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif .
3.      Mempercayai kebenaran yang relatif,  terbuka dan plural
            Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan).
4.      Memihak pada yang minoritas dan tertindas
            Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak pada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan.
5.      Menyakini kebebasan beragama
            Islam Liberal menyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi.
6.      Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi
            Otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber Inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik,tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik.   

Menurut Ulil Absar Abdalla Islam Liberal menggambarkan prinsip-prinsip yang  menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Liberal bermakna dua yaitu kebebasan dan pembebasan. Untuk mewujudkan Islam Liberal Ulil membentuk jaringan Islam Liberal (JIL). Adapun tujuan Ulil dalam jaringan Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat untuk itu Ulil memilih bentuk jaringan bukan organisasi kemasyarakatan maupun partai politik,karena Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
JIL juga mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme, karna itu ulil Absar Abdalla yakin dengan JIL dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Jaringan Islam Liberal mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Adapun kegiatan Ulil Absar Abdalla dalam jaringan Islam Liberal adalah:
a.       Mengumpulkan tulisan sejumlah penulis oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusipisme.
b.      Talk-show dikantor berita radio 68 H dengan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai pendekar pluralisme dan inklusipisme, dengan tujuan berbicara tentang berbagai isu sosial keagamaan di tanah air.
c.       Penerbitan buku. JIl berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupuin penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relavan dengan tema-tema tersebut.
d.      Penerbitan buku saku, buku saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat.
e.       Website Islamlib.Com. Program ini berawal dari di bukanya milis Islam Liberal (IslamLiberal@yahoogroups.com). Semua produk JIL (sindikasi media, Talk show radio, dan lain-lain akan di muat dalam Website ini).
f.       Iklan layanan masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal JIL memproduksi sejumlah iklan layanan masyarakat dengan tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan dan pencegahan komplik sosial.
g.      Diskusi keislaman JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum.

D.    Pembaharuan yang dilakukan dalam Islam Liberal
Beberapa pembaharuan yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdala dalam Islam Liberal yaitu:
a.       Mengenai hukum Tuhan
Ulil mengatakan tidak ada disebut hukum tuhan dalam pengertian seperti di pahami kebanyakan orang Islam, misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan dan lain-lain.
b.      Rasul Muhammad
Rasul Muhammad adalah tokoh historis yang harus di kaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya).
c.       Islam
Seperti telah dikemukakan caknur dan sejumlah pemikir lain adalah nilai generis yang bisa ada kristen, hindu, budha, konghuchu, taoisme bisa jadi kebenaran Islam ada dalam filsafat Marxisme.
d.      Semua agama sama
            Agama semuanya jalan kebenaran jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar gereja, baru pada tahun 1965 Masehi, gereja Katolik merevesi paham ini sedangkan Islam, yang berusia 1423 tahun dari Hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik. Larangan kawin beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih kenapa harus takut kawin dengan yang diluar Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala itu, membolehkan laki-laki kawin dengan wanita ahli kitab. Ahli kitab saat ini masih ada malah agama-agama selain Nasrani dan Yahudi pun bisa disebut ahli kitab. Kawin beda agama hambatannya bukan teologi melainkan sosial.[2]
Dalam memimpin JIL, Ulil Absar Abdalla sering di anggap melecehkan Islam dan di nilai mengajarkan kesesatan terhadap masyarakat. Paham liberalisme yang di anutnya di anggap sebagai produk barat, terlebih karena organisasi yang di pimpinnya di biayai oleh lembaga-lembaga dari luar negeri, pihak JIL tidak Keberatan JIL dibiayai oleh The Asia Foundation dan sumber sumber domestik Eropa dan Amerika, selama mereka tidak mengatur organisasi yang di pimpinnya dan mengintervensi program program yang di jalankannya.
Tak cuma kritik, artikelnya dalam sebuah surat kabar berjudul Menyegarkan kembali umat Islam  yang di muat di harian kompas 18 November 2002 di pandang oleh forum Ulama umat Islam (FUUI) mendiskreditkan Islam. Gara-gara artikel itu Ulil di vonis mati oleh FUUI. Vonis mati itu tak membuat Ulil Absar abdalla goyah pada pemikiran dan gagasan-gagasannya.[3]
E.     Kesimpulan
Di lihat dari latar belakang riwayat hidupnya, tokoh Ulil Absar Abdalla lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga santri, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah 11 Januari 1967, itu sejak kecil sudah mengenyam pendidikan pondok pesantren setelah lulus madrasah di desa kelahirannya , Ayahnya Abdullah Rifa’I. Ulil Absar Abdalla  seorang tokoh pendiri Jaringan Islam Liberal yang sering menyuarakan Liberalisasi tafsir Islam, Ulil menuai banyak kritik atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam itu Ulil disebut pembaru pemikiran Islam.
Gagasan dan pemikiran Ulil Absar Abdalla tentang Islam Liberal adalah  menggambarkan prinsip-prinsip yang  menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Adapun tujuan Ulil dalam jaringan Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat untuk itu Ulil memilih bentuk jaringan bukan organisasi kemasyarakatan maupun partai politik, karena Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Dari seluruh gagasan dan pemikirannya terlihat bahwa ia adalah seorang modernis yang memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip ajarannya.

Daftar Pustaka
Abdalla, Ulil Abshar. Membakar Rumah Tuhan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya . 1999
Handrianto, Budi.  Lima Puluh Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta: Hujjah Press .2007



[1] Ulil Abshar Abdalla. Membakar Rumah Tuhan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 257

[2] Budi Handrianto, Lima Puluh Tokoh Islam Liberal Indonesia (Jakarta, Hujjah Press, 2007), hlm, 270
[3] Budi Handrianto, Lima Puluh Tokoh Islam Liberal Indonesia (Jakarta, Hujjah Press, 2007), hlm, 263

Selasa, 20 Desember 2016

Konsep Ahwal dalam Tasawuf



MAKALAH
KONSEP AHWAL DALAM TASAWUF
Disusun Untuk Tugas Mata Kuliah
TASAWUF AKHLAQI
Dosen Pengampu: ARIKHAH, M. Ag.
Dibuat Oleh :
                                                  M. Khoirul Fikri Maulana   (1404016050)
 PRODI AQIDAH - FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UIN WALISONGO SEMARANG



         KONEP AHWAL DALAM TASAWUF
A.     Kata Pengantar
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas akhir semester. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti ini.
Alhamdulillah pada kesempatan kali ini penulis menyusun makalah mengenai Konsep Ahwal dalam Tasawuf menurut Imam Al-Ghazali.  Berikut ini pembahasan seputar Ahwal, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan bacaan dan diskusi yang komprehensif. Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.

B.     Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu konsep dalam Islam yang menitikberatkan perhatiannya pada penyucian rohaniah manusia, yang berdampak pada akhlak mulia. Melalui tasawuf inilah seseorang bisa mengetahui tentang bagaiman cara untuk melakukan pembersihan diri serta mengaplikasikannya dengan benar.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa rohaniah yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan banyak tahu tentang penciptanya apabila belum melakukan perjalnan menuju Allah walaupun secara dzohiriyah ia adalah orang yang beriman.
Untuk mencapai hal tersebut, dalam dunia tasawuf muncullah konsep-konsep yang bernama Maqamat dan Ahwal. Keduanya memiliki langkah-langkah untuk mencapai tingkatan tertinggi, namun pada tulisan ini lebih dikhususkan untuk membahas tentang Ahwal. Seperti bagaimana pengertian dari Ahwal, serta konsep dan tingkatan ahwal menurut Imam Al-Ghazali.

C.     Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.[1] Ahwal tidak bisa dipisahkan dari maqamat, karena ahwal itu merupakan kondisi atau keadaan yang diperoleh ketika kita sedang menjalankan prosesi maqamat itu sendiri. Mengenai perbedaan maqamat dan hal memang cukup membingungkan untuk dibahas, ini disebabkan karena definisi para tokoh tentang kedua hal tersebut memang berbeda-beda akan tetapi yang sering lumrah dipakai yaitu Maqamat digambarkan sebagai proses perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperoleh ketenangan rohaniah. Perjuangan ini merupakan perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu manusia yang dipandang sebagai kendala untuk menuju Tuhan. Sedangkan Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Secara lebih lanjut para kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugrah dan maqam adalah prosesnya. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal terpisah dari maqam.[2]
Didalam buku ‘awarif al ma’arif karya Syihabuddin Umar Suhrawardi yang diterjemahkan oleh Ilma Nugraha ni Ismail, Al-Ghazali  mengatakan bahwa apabila seseorang sudah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah yang dinamakan hal. Mengenai hal ini, Al-Ghazali memberikan contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning.[3]
Dari teks diatas, menurut pemahaman saya yaitu Hal adalah kondisi spiritual seseorang artinya perasaan yang diperoleh seseorang pada perjalanan spiritualnya. Untuk mecapai suatu hal atau keadaan tertentu kita harus melakukan perjuangan terlebih dahulu yaitu lewat tingkatan-tingkatan maqam. Atau bisa dikatakan kita melakukan perjuangan terlebih dahulu untuk mendapatkan anugrah yang disebut hal. Hal tidak secara pasti diperoleh oleh seseorang setelah melakukan maqam-maqam tertentu karena hal merupakan sesuatu yang tidak diam artinya ketika kita melakukan suatu proses, belum tentu hasil yang kita dapatkan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan.

D.    Konsep dan macam-macam Ahwal.
Jika diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal sebenarnya sudah ada pada masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal) adalah Dzunun al-Mishri (w. 796 M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati (w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal.[4]
Tidak berbeda jauh dengan maqamat, hal juga memiliki beberapa macam. Namun, konsep pembagian serta jumlah hal yang dikemukakan oleh para sufi berbeda-beda. Beberapa konsep pembagian ahwal adalah sebagai berikut: Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin. Berikut ini adalah penjelasannya:

a)     Muroqobah.
Secara etimologi Muroqobah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminology muroqobah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya.[5]

b)     Khauf.
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi dua bagian:
1.       Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Khauf yang seperti inilah yang mendorong manusia untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.
2.      Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[6]

c)      Raja’.
Raja’ bermakna harapan. Al-Ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Secara maknawi, raja’ adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan. Yang dimaksud Al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Al-Ghazali menambahkan bahwa raja’ perlu disertai dengan husnudzan (baik sangka) kepada Allah SWT dengan menjauhkan rasa keputus asaan akan rahmat-Nya.[7]

d)     Syauq.
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui Allah. Jika pengenalan dan pengetahuan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bersam Allah.[8]
Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam bukunya Ensiklopedia[9] Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak lagi dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak dirindukan lagi.[10]

e)     Mahabbah.
Menurut Imam Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau nalurinya anti pati terhadap selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala kesenangannya makin bertambah itu artinya cintanya makin mendalam.[11]
Sedangkan asal cinta menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab IHYA ‘ULUMUDDIN jilid IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan adalah ”La Yatashowwaru Mahabbata Illa Ba’da Ma’rifatain Wa ‘Idrotin".
Jadi, sumbernya cinta menurut Imam Al-Ghazali itu ada tiga perkara:
1)      Mengenal dan bertemu.
2)     Setelah mengenal dan bertemu, lalu menimbulkan kecocokan.
3)     Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.[12]

f)       Thuma’ninah.
Thuma’ninah berarti tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga:
1)      Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir.
2)     Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa.
3)     Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[13]

g)     Musyahadah.
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology persepektif tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai Musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini seseorang mencapai tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.[14]

h)    Yaqin.
Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam ditambah dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin.[15]

E.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan. Ahwal adalah Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal juga memiliki pembagiannya seperti halnya dalam maqamat yaitu Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin.

F.     Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan) 2008
Azra, Azyumardi dkk. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev). 2005
Baghir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. (Bandung : Mizan) 2006 Cet. II.
Fattah, Abdul. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah (Jakarta: Khalifa) 2005.
Mujib, M. Abdul Dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika) 2009
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2011
Rakhmat, Jalaluddin Dkk. Kuliah-kuliah Tasawuf. (Bandung: Pustaka Hidayah) 2000
Suhrawardi, Syekh Syihabuddin Umar. Awarif al-Ma’arif. ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail. (Bandung: Pustaka Hidayah) 1998
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN SA Press) 2011



[1] Haidar Baghir. Buku Saku Tasawuf. (Bandung : Mizan) 2006 Cet. II. Hal. 133
[2] Syekh Syihabuddin Umar Suhrawardi. Awarif al-Ma’arif. ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail. (Bandung: Pustaka Hidayah) 1998. Hal. 109
[3]Ibid. Hal 109-110
[4] Jalaluddin Rakhmat Dkk. Kuliah-kuliah Tasawuf. (Bandung: Pustaka Hidayah) 2000 Hal. 105
[5] Azyumardi Azra dkk. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev). 2005. Hal. 287
[6] Abdul Fattah. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah (Jakarta: Khalifa) 2005. Hal.108
[7] Ibid. Hal 109
[8] Syihabuddin Umar Suhrahwardi. ‘Awarif al-Ma’arif. Op. Cit, Hal. 185
[9] Ensiklopedia (/énsiklopédia/) adalah sejumlah tulisan yang berisi penjelasan yang menyimpan informasi secara komprehensif dan cepat dipahami serta dimengerti mengenai keseluruhan cabang ilmu pengetahuan atau khusus dalam satu cabang ilmu pengetahuan tertentu yang tersusun dalam bagian artikel-artikel dengan satu topik bahasan pada tiap-tiap artikel yang disusun berdasarkan abjad, kategori atau volume terbitan dan pada umumnya tercetak dalam bentuk rangkaian buku yang tergantung pada jumlah bahan yang disertakan. Kutipan ini bisa dilihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Ensiklopedia. Kutipan ini diakses pada tanggal 16/5/2016 pukul 05.49.
[10] M. Abdul Mujib Dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika) 2009 Hal. 460
[11] Ibid, Hal 465
[12] Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan) 2008 Hal 288-289
[13] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN SA Press) 2011. Hal 269-270
[14] Ibid, Hal 272-273
[15] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2011 Hal. 69