MAKALAH
KONSEP AHWAL DALAM
TASAWUF
Disusun
Untuk Tugas Mata Kuliah
TASAWUF
AKHLAQI
Dosen
Pengampu: ARIKHAH, M. Ag.
Dibuat
Oleh :
M.
Khoirul Fikri Maulana (1404016050)
PRODI
AQIDAH - FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN & HUMANIORA
UIN
WALISONGO SEMARANG
KONEP AHWAL DALAM TASAWUF
A. Kata Pengantar
Puji syukur senantiasa
kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas akhir semester. Sholawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang
telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang
seperti ini.
Alhamdulillah
pada kesempatan kali ini penulis menyusun makalah mengenai Konsep Ahwal
dalam Tasawuf menurut Imam Al-Ghazali. Berikut ini pembahasan seputar Ahwal, semoga
tulisan ini dapat menjadi bahan bacaan dan diskusi yang komprehensif. Kritik
dan saran sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.
B. Latar Belakang
Tasawuf
merupakan salah satu konsep dalam Islam yang menitikberatkan perhatiannya pada
penyucian rohaniah manusia, yang berdampak pada akhlak mulia. Melalui tasawuf
inilah seseorang bisa mengetahui tentang bagaiman cara untuk melakukan
pembersihan diri serta mengaplikasikannya dengan benar.
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa rohaniah yang
benar terhadap Allah. Manusia tidak akan banyak tahu tentang penciptanya
apabila belum melakukan perjalnan menuju Allah walaupun secara dzohiriyah ia
adalah orang yang beriman.
Untuk
mencapai hal tersebut, dalam dunia tasawuf muncullah konsep-konsep yang bernama
Maqamat dan Ahwal. Keduanya memiliki langkah-langkah untuk mencapai
tingkatan tertinggi, namun pada tulisan ini lebih dikhususkan untuk membahas
tentang Ahwal. Seperti bagaimana pengertian dari Ahwal, serta konsep dan
tingkatan ahwal menurut Imam Al-Ghazali.
C. Pengertian Ahwal
Ahwal
adalah bentuk jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.[1]
Ahwal tidak bisa dipisahkan dari maqamat, karena ahwal itu merupakan kondisi
atau keadaan yang diperoleh ketika kita sedang menjalankan prosesi maqamat itu
sendiri. Mengenai perbedaan maqamat dan hal memang cukup membingungkan untuk
dibahas, ini disebabkan karena definisi para tokoh tentang kedua hal tersebut
memang berbeda-beda akan tetapi yang sering lumrah dipakai yaitu Maqamat
digambarkan sebagai proses perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para
sufi untuk memperoleh ketenangan rohaniah. Perjuangan ini merupakan perjuangan
ini pada hakikatnya merupakan perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk
melawan hawa nafsu manusia yang dipandang sebagai kendala untuk menuju Tuhan.
Sedangkan Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.
Secara lebih lanjut para kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugrah dan
maqam adalah prosesnya. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada
hal terpisah dari maqam.[2]
Didalam
buku ‘awarif al ma’arif karya Syihabuddin Umar Suhrawardi yang
diterjemahkan oleh Ilma Nugraha ni Ismail, Al-Ghazali mengatakan bahwa apabila seseorang sudah
mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu
dan itulah yang dinamakan hal. Mengenai hal ini, Al-Ghazali memberikan contoh
tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning
yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah
seperti pada sakit kuning.[3]
Dari
teks diatas, menurut pemahaman saya yaitu Hal adalah kondisi spiritual
seseorang artinya perasaan yang diperoleh seseorang pada perjalanan
spiritualnya. Untuk mecapai suatu hal atau keadaan tertentu kita harus
melakukan perjuangan terlebih dahulu yaitu lewat tingkatan-tingkatan maqam.
Atau bisa dikatakan kita melakukan perjuangan terlebih dahulu untuk mendapatkan
anugrah yang disebut hal. Hal tidak secara pasti diperoleh oleh seseorang
setelah melakukan maqam-maqam tertentu karena hal merupakan sesuatu yang tidak
diam artinya ketika kita melakukan suatu proses, belum tentu hasil yang kita dapatkan
itu sesuai dengan apa yang kita inginkan.
D. Konsep dan macam-macam Ahwal.
Jika
diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal sebenarnya sudah ada pada
masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam
tasawuf ini adalah
Ali ibn Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman
dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan
(‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang
membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal) adalah Dzunun al-Mishri (w. 796
M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati (w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama
yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal.[4]
Tidak
berbeda jauh dengan maqamat, hal juga memiliki beberapa macam. Namun, konsep
pembagian serta jumlah hal yang dikemukakan oleh para sufi berbeda-beda.
Beberapa konsep pembagian ahwal adalah sebagai berikut: Muroqobah, Khauf, Raja’,
Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin. Berikut ini adalah
penjelasannya:
a) Muroqobah.
Secara etimologi
Muroqobah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminology muroqobah
adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri
bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya.[5]
b) Khauf.
Khauf adalah suatu
sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi
dua bagian:
1. Khauf karena khawatir kehilangan
nikmat. Khauf yang seperti inilah yang mendorong manusia untuk selalu
memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.
2. Khauf pada siksaan sebagai akibat
perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong untuk menjauh
dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[6]
c) Raja’.
Raja’ bermakna
harapan. Al-Ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang
kekasih datang kepadanya. Secara maknawi, raja’ adalah ketenangan hati karena
menantikan sesuatu yang sangat diinginkan. Yang dimaksud Al-Ghazali dengan
sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Al-Ghazali
menambahkan bahwa raja’ perlu disertai dengan husnudzan (baik sangka)
kepada Allah SWT dengan menjauhkan rasa keputus asaan akan rahmat-Nya.[7]
d) Syauq.
Syauq bermakna
lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq
merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu
karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang
harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui Allah. Jika pengenalan dan
pengetahuan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan
rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan
rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bersam Allah.[8]
Menurut Al-Ghazali,
seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam bukunya Ensiklopedia[9]
Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui
penjelasan keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang
dicintai pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir
dihadapannya, ia tidak lagi dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang
tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak dirindukan lagi.[10]
e) Mahabbah.
Menurut Imam
Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena
ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau nalurinya
anti pati terhadap selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala
kesenangannya makin bertambah itu artinya cintanya makin mendalam.[11]
Sedangkan asal cinta
menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab IHYA ‘ULUMUDDIN jilid
IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan adalah ”La
Yatashowwaru Mahabbata Illa Ba’da Ma’rifatain Wa ‘Idrotin".
Jadi, sumbernya cinta menurut Imam
Al-Ghazali itu ada tiga perkara:
1) Mengenal dan bertemu.
2) Setelah mengenal dan bertemu, lalu
menimbulkan kecocokan.
3) Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.[12]
f) Thuma’ninah.
Thuma’ninah berarti
tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah
mencapai tingkatan thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya
serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia,
tentram dan ia dapat berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi
tiga:
1) Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan
ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir.
2) Ketenangan bagi orang-orang khusus.
Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas
keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa.
3) Ketenangan bagi orang-orang paling
khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa
rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak
bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[13]
g) Musyahadah.
Musyahadah secara
harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology persepektif
tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah)
atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai
Musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah
telah ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang
terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini
seseorang mencapai tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan
menyaksikan Allah melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta
kasih.[14]
h) Yaqin.
Yaqin berarti
perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta
rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara
langsung dengan Tuhannya. Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang
mendalam ditambah dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah
dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan
al-yaqin.[15]
E. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan. Ahwal adalah Ahwal adalah bentuk
jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental
(mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Ahwal juga memiliki pembagiannya seperti halnya dalam maqamat yaitu Muroqobah,
Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin.
F. Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin terj. Irwan
Kurniawan (Bandung: Mizan) 2008
Azra, Azyumardi dkk. Ensiklopedi
Islam.
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev). 2005
Baghir, Haidar. Buku Saku
Tasawuf. (Bandung : Mizan) 2006 Cet. II.
Fattah, Abdul. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah (Jakarta:
Khalifa) 2005.
Mujib, M. Abdul Dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam
Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika) 2009
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2011
Rakhmat, Jalaluddin Dkk. Kuliah-kuliah Tasawuf. (Bandung:
Pustaka Hidayah) 2000
Suhrawardi, Syekh Syihabuddin Umar. Awarif
al-Ma’arif.
ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail. (Bandung: Pustaka Hidayah)
1998
Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN SA Press) 2011
[1] Haidar Baghir. Buku Saku Tasawuf. (Bandung
: Mizan) 2006 Cet. II. Hal. 133
[2] Syekh Syihabuddin Umar Suhrawardi. Awarif al-Ma’arif. ter. Edisi
Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail. (Bandung: Pustaka Hidayah) 1998. Hal.
109
[3]Ibid. Hal 109-110
[4] Jalaluddin Rakhmat Dkk. Kuliah-kuliah
Tasawuf. (Bandung: Pustaka Hidayah) 2000 Hal. 105
[5] Azyumardi Azra dkk. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoev). 2005. Hal. 287
[7] Ibid. Hal 109
[8] Syihabuddin Umar Suhrahwardi. ‘Awarif
al-Ma’arif. Op. Cit, Hal. 185
[9] Ensiklopedia (/énsiklopédia/) adalah
sejumlah tulisan yang berisi penjelasan yang menyimpan informasi secara
komprehensif dan cepat dipahami serta dimengerti mengenai keseluruhan cabang
ilmu pengetahuan atau khusus dalam satu cabang ilmu pengetahuan tertentu yang
tersusun dalam bagian artikel-artikel dengan satu topik bahasan pada tiap-tiap
artikel yang disusun berdasarkan abjad, kategori atau volume terbitan dan pada
umumnya tercetak dalam bentuk rangkaian buku yang tergantung pada jumlah bahan
yang disertakan. Kutipan ini bisa dilihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Ensiklopedia. Kutipan ini
diakses pada tanggal 16/5/2016 pukul 05.49.
[10] M. Abdul Mujib Dkk. Ensiklopedia Tasawuf
Imam Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika) 2009 Hal. 460
[11] Ibid, Hal 465
[12] Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin terj.
Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan) 2008 Hal 288-289
[14] Ibid, Hal 272-273
Tidak ada komentar:
Posting Komentar