Selasa, 20 Desember 2016

Konsep Ahwal dalam Tasawuf



MAKALAH
KONSEP AHWAL DALAM TASAWUF
Disusun Untuk Tugas Mata Kuliah
TASAWUF AKHLAQI
Dosen Pengampu: ARIKHAH, M. Ag.
Dibuat Oleh :
                                                  M. Khoirul Fikri Maulana   (1404016050)
 PRODI AQIDAH - FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UIN WALISONGO SEMARANG



         KONEP AHWAL DALAM TASAWUF
A.     Kata Pengantar
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas akhir semester. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti ini.
Alhamdulillah pada kesempatan kali ini penulis menyusun makalah mengenai Konsep Ahwal dalam Tasawuf menurut Imam Al-Ghazali.  Berikut ini pembahasan seputar Ahwal, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan bacaan dan diskusi yang komprehensif. Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.

B.     Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu konsep dalam Islam yang menitikberatkan perhatiannya pada penyucian rohaniah manusia, yang berdampak pada akhlak mulia. Melalui tasawuf inilah seseorang bisa mengetahui tentang bagaiman cara untuk melakukan pembersihan diri serta mengaplikasikannya dengan benar.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa rohaniah yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan banyak tahu tentang penciptanya apabila belum melakukan perjalnan menuju Allah walaupun secara dzohiriyah ia adalah orang yang beriman.
Untuk mencapai hal tersebut, dalam dunia tasawuf muncullah konsep-konsep yang bernama Maqamat dan Ahwal. Keduanya memiliki langkah-langkah untuk mencapai tingkatan tertinggi, namun pada tulisan ini lebih dikhususkan untuk membahas tentang Ahwal. Seperti bagaimana pengertian dari Ahwal, serta konsep dan tingkatan ahwal menurut Imam Al-Ghazali.

C.     Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.[1] Ahwal tidak bisa dipisahkan dari maqamat, karena ahwal itu merupakan kondisi atau keadaan yang diperoleh ketika kita sedang menjalankan prosesi maqamat itu sendiri. Mengenai perbedaan maqamat dan hal memang cukup membingungkan untuk dibahas, ini disebabkan karena definisi para tokoh tentang kedua hal tersebut memang berbeda-beda akan tetapi yang sering lumrah dipakai yaitu Maqamat digambarkan sebagai proses perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperoleh ketenangan rohaniah. Perjuangan ini merupakan perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu manusia yang dipandang sebagai kendala untuk menuju Tuhan. Sedangkan Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Secara lebih lanjut para kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugrah dan maqam adalah prosesnya. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal terpisah dari maqam.[2]
Didalam buku ‘awarif al ma’arif karya Syihabuddin Umar Suhrawardi yang diterjemahkan oleh Ilma Nugraha ni Ismail, Al-Ghazali  mengatakan bahwa apabila seseorang sudah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah yang dinamakan hal. Mengenai hal ini, Al-Ghazali memberikan contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning.[3]
Dari teks diatas, menurut pemahaman saya yaitu Hal adalah kondisi spiritual seseorang artinya perasaan yang diperoleh seseorang pada perjalanan spiritualnya. Untuk mecapai suatu hal atau keadaan tertentu kita harus melakukan perjuangan terlebih dahulu yaitu lewat tingkatan-tingkatan maqam. Atau bisa dikatakan kita melakukan perjuangan terlebih dahulu untuk mendapatkan anugrah yang disebut hal. Hal tidak secara pasti diperoleh oleh seseorang setelah melakukan maqam-maqam tertentu karena hal merupakan sesuatu yang tidak diam artinya ketika kita melakukan suatu proses, belum tentu hasil yang kita dapatkan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan.

D.    Konsep dan macam-macam Ahwal.
Jika diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal sebenarnya sudah ada pada masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal) adalah Dzunun al-Mishri (w. 796 M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati (w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal.[4]
Tidak berbeda jauh dengan maqamat, hal juga memiliki beberapa macam. Namun, konsep pembagian serta jumlah hal yang dikemukakan oleh para sufi berbeda-beda. Beberapa konsep pembagian ahwal adalah sebagai berikut: Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin. Berikut ini adalah penjelasannya:

a)     Muroqobah.
Secara etimologi Muroqobah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminology muroqobah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya.[5]

b)     Khauf.
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi dua bagian:
1.       Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Khauf yang seperti inilah yang mendorong manusia untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.
2.      Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[6]

c)      Raja’.
Raja’ bermakna harapan. Al-Ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Secara maknawi, raja’ adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan. Yang dimaksud Al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Al-Ghazali menambahkan bahwa raja’ perlu disertai dengan husnudzan (baik sangka) kepada Allah SWT dengan menjauhkan rasa keputus asaan akan rahmat-Nya.[7]

d)     Syauq.
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui Allah. Jika pengenalan dan pengetahuan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bersam Allah.[8]
Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam bukunya Ensiklopedia[9] Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak lagi dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak dirindukan lagi.[10]

e)     Mahabbah.
Menurut Imam Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau nalurinya anti pati terhadap selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala kesenangannya makin bertambah itu artinya cintanya makin mendalam.[11]
Sedangkan asal cinta menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab IHYA ‘ULUMUDDIN jilid IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan adalah ”La Yatashowwaru Mahabbata Illa Ba’da Ma’rifatain Wa ‘Idrotin".
Jadi, sumbernya cinta menurut Imam Al-Ghazali itu ada tiga perkara:
1)      Mengenal dan bertemu.
2)     Setelah mengenal dan bertemu, lalu menimbulkan kecocokan.
3)     Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.[12]

f)       Thuma’ninah.
Thuma’ninah berarti tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga:
1)      Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir.
2)     Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa.
3)     Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[13]

g)     Musyahadah.
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology persepektif tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai Musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini seseorang mencapai tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.[14]

h)    Yaqin.
Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam ditambah dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin.[15]

E.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan. Ahwal adalah Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal juga memiliki pembagiannya seperti halnya dalam maqamat yaitu Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin.

F.     Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan) 2008
Azra, Azyumardi dkk. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev). 2005
Baghir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. (Bandung : Mizan) 2006 Cet. II.
Fattah, Abdul. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah (Jakarta: Khalifa) 2005.
Mujib, M. Abdul Dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika) 2009
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2011
Rakhmat, Jalaluddin Dkk. Kuliah-kuliah Tasawuf. (Bandung: Pustaka Hidayah) 2000
Suhrawardi, Syekh Syihabuddin Umar. Awarif al-Ma’arif. ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail. (Bandung: Pustaka Hidayah) 1998
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN SA Press) 2011



[1] Haidar Baghir. Buku Saku Tasawuf. (Bandung : Mizan) 2006 Cet. II. Hal. 133
[2] Syekh Syihabuddin Umar Suhrawardi. Awarif al-Ma’arif. ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail. (Bandung: Pustaka Hidayah) 1998. Hal. 109
[3]Ibid. Hal 109-110
[4] Jalaluddin Rakhmat Dkk. Kuliah-kuliah Tasawuf. (Bandung: Pustaka Hidayah) 2000 Hal. 105
[5] Azyumardi Azra dkk. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev). 2005. Hal. 287
[6] Abdul Fattah. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah (Jakarta: Khalifa) 2005. Hal.108
[7] Ibid. Hal 109
[8] Syihabuddin Umar Suhrahwardi. ‘Awarif al-Ma’arif. Op. Cit, Hal. 185
[9] Ensiklopedia (/énsiklopédia/) adalah sejumlah tulisan yang berisi penjelasan yang menyimpan informasi secara komprehensif dan cepat dipahami serta dimengerti mengenai keseluruhan cabang ilmu pengetahuan atau khusus dalam satu cabang ilmu pengetahuan tertentu yang tersusun dalam bagian artikel-artikel dengan satu topik bahasan pada tiap-tiap artikel yang disusun berdasarkan abjad, kategori atau volume terbitan dan pada umumnya tercetak dalam bentuk rangkaian buku yang tergantung pada jumlah bahan yang disertakan. Kutipan ini bisa dilihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Ensiklopedia. Kutipan ini diakses pada tanggal 16/5/2016 pukul 05.49.
[10] M. Abdul Mujib Dkk. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazli. (Jakarta:PT Mizan Publika) 2009 Hal. 460
[11] Ibid, Hal 465
[12] Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan) 2008 Hal 288-289
[13] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN SA Press) 2011. Hal 269-270
[14] Ibid, Hal 272-273
[15] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2011 Hal. 69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar